"Surat Edaran Kepala Polri Nomor SE/06/X/2015 tertanggal 8 Oktober 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau ‘hate speech’ menuai pro dan kontra di masyarakat. Ada yang menilai bahwa surat edaran itu mengekang kebebasan berpendapat, terutama kritik terhadap pemerintah."
- Apa itu Hate Speech? -
Hate Speech adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Dalam arti hukum, Hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Jadi intinya, Hate Speech adalah tindakan yang salah untuk dilakukan oleh seseorang dalam mengemukakan pendapatnya.
Kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan sebagian dari Hak Asasi Manusia, terutama dalam Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia PBB Pasal 19 dan Pasal 20 dalam Hak Asasi Manusia. Di Indonesia, kebebasan mengemukakan pendapat juga diatur dalam UUD 1945 pada beberapa Pasal-Pasalnya yang mengatur tentang kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum.
Apabila kebebasan tersebut dikekang, maka akan timbul gejolak-gejolak ataupun ganjalan-ganjalan dalam hati banyak orang, yang suatu ketika dapat meledak dalam bentuk sikap-sikap dan perbuatan yang tidak baik. Dan jika pendapat orang lain benar dan baik, sudah sepantasnya kita mendukungnya. Namun, jika yakin pendapat kita benar, kita dapat mempertahankannya dengan cara yang baik dan sopan, tanpa menyinggung perasaan orang lain. Kita juga harus mampu memberikan argumentasi atau alasan-alasan yang masuk akal. Oleh karena itu,pendapat yang kita sampaikan sebaiknya bersifat seperti :
a. Bukan semata untuk kepentingan pribadi ataupun golongan,
b. Dapat diterima akal dan mutu,
c. Tidak menimbulkan perpecahan,
d. Sesuai dengan norma yang berlaku
e. Tidak menyinggung perasaan orang lain.
Sebelum SE Hate Speech ini terbit pun ketentuan-ketentuan mengenai larangan berujar kebencian telah ada dan diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan ini juga telah disebut dalam SE Hate Speech di samping Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) (Pasal 156, Pasal 157) untuk menjerat pelaku dugaan ujaran kebencian.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah:
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) [Pasal 28 jo. Pasal 45 ayat (2)]
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 ttg Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis ("UU 40/2008")(Pasal 16)
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 ttg Penanganan Konflik Sosial (“UU 7/2012”)
4. Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2013 ttg Teknis Penanganan Konflik Sosial (“Perkapolri 8/2013”)
- Lalu bagaimana tentang kebijakan Polri tersebut? -
Opini Pribadi
Menurut saya, hal ini boleh saja dilakukan oleh Polri baik untuk menindak lanjuti pelaku-pelaku pencemaran nama baik maupun provokator pemecah bangsa. Namun, kebijakan tersebut harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin, melalui elemen-elemen penegak hukum yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya oleh masyarakat. Juga dengan adanya sosialisasi yang tepat akan kebijakan ini, agar masyarakat tidak salah paham akan apa yang dilakukan oleh polri. Pembatasan terhadap kebebasan mengemukakan pendapat ini tidak boleh dilakukan dengan ekstrim, polri harus tetap memperbolehkan masyarakat untuk mengemukakan pendapat, namun dalam batasan-batasan yang sewajarnya sehingga tidak menimbulkan keresahan.
Akibat Pembatasan Mengemukakan Pendapat
Dalam pemerintahan yang otoriter, kebebasan mengemukakan pendapat, apalagi di muka umum, sangat dibatasi oleh pemerintah. Hal demikian sesungguhnya merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Memang, hak kemerdekaan mengemukakan pendapat tidak boleh digunakan sekehendak hati karena di dalam hak tersebut juga melekat kewajiban untuk menghargai dan menghormati hak yang sama yang dimiliki orang lain. Akan tetapi, apabila pembatasan atau pengekangan dilakukan pemerintah terhadap rakyat demi kepentingan kekuasaan pemerintah semata, hal ini sungguh merupakan sebuah kesalahan yang amat fatal. Pengekangan terhadap kebebasan mengemukakan pendapat oleh pemerintah yang berkuasa sebenarnya dapat menimbulkan akibat yang kurang baik bagi rakyat, pemerintah, ataupun bangsa.
1. Akibat bagi Rakyat
Bagi rakyat, adanya pembatasan oleh pemerintah akan berakibat terjadinya hal berikut, yakni:
a. Berkurang atau hilangnya hak kemerdekaan mengemukakan pendapat,
b. Munculnya sikap apatis (tidak peduli) dari rakyat atau masyarakat terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara,
c. Kekecewaan yang dalam terhadap pemerintah,
d. Hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, dan
e. Pembangkangan terhadap pemerintah.
2. Akibat bagi Pemerintah
Bagi pemerintah, adanya pembatasan oleh pemerintah akan berakibat terjadinya hal berikut:
a. Berkurang atau hilangnya kepercayaan rakyat,
b. Berkurang atau hilangnya kesempatan untuk mendapatkan masukan atau aspirasi dari rakyat untuk kemajuan masyarakat, bangsa dan bernegara,
c. Berkurang atau hilangnya dukungan rakyat, dan
d. Perlawanan rakyat.
3. Akibat bagi Bangsa dan Negara
Bagi bangsa dan negara, adanya pembatasan oleh pemerintahterhadap hak warganya akan berakibat terjadinya hal berikut:
a. Dengan sedikitnya masukan dan dukungan dari rakyat, maka pembangunan bangsa dan Negara dapat terhambat,
b. Stabilitas nasional dapat terganggu, dan
c. Negara kehilangan pikiran – pikiran dan ide-ide kreatif dari rakyat.
Konsekuensi Mengemukakan Pendapat Tanpa Batas
Hak kemerdekaan yang kita miliki tetap dibatasi oleh hak kemerdekaan yang sama yang juga dimiliki oleh orang lain. Dengan kata lain, kebebasan mengemukakan pendapat tersebut harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Apabila hak kebebasan mengemukakan pendapat tersebut digunakan tanpa batas atau tidak bertanggung jawab, maka dapat mengakibatkan orang atau pihak lain tersinggung perasaannya, bahkan dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Jika situasinya sudah meresahkan masyarakat, maka pemerintah dengan segala kewenangannya dapat mengambil tindakan pembatasan – pembatasan yang diperlukan demi terhentinya keresahan yang ada dalam masyarakat.
-Jadi?-
Karena hal tersebut dilakukan dengan niat positif demi meminimalisir kemungkinan-kemungkinan tindakan yang dapat mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat, maka kebijakan tersebut boleh dilaksanakan. Akan tetapi, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, kebijakan ini harus dilaksanakan dengan secermat dan sebaik mungkin agar tidak mengakibatkan konflik-konflik lain dalam masyarakat yang dapat memicu sikap apatis terhadap pemerintah maupun elemen-elemen penegak hukumnya. Pemahaman-pemahaman tentang mengemukakan pendapat yang baik dan benar harus ditanamkan dalam masyarakat agar tidak hanya berpendapat semaunya, namun turut memberikan kritikan dan masukan terhadap jalannya sistem pemerintah agar negara ini bisa semakin berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar